Wednesday, February 15, 2012

Sebuah Cerita Tentang Cita-Cita


      Punya guru yang sangat luar biasa? Saya punya. Beliau memang bukan guru saya di sekolah, tetapi hanya guru saya ketika saya ikut bimbingan belajar sewaktu kelas 3 SMA. Biar begitu, saya berani memberikan predikat “guru terhebat” untuk beliau dalam hidup saya. Beliau salah satu pengajar mata pelajaran Fisika dalam bimbingan belajar yang saya ikuti.

    Pertama kali saya mengenal beliau, yang ada dipkiran saya hanyalah, semoga guru yang kali ini bisa membuat saya paham dengan pelajaran yang bernama Fisika. Ya! Inilah kesalahan saya, dari SMP saya selalu menciptakan mindset bahwa Fisika itu susah dan menyusahkan. Dan akhirnya, bisa dipastikan saya luar biasa kesulitan, bingung, bahkan bisa dikatakan menyerah dalam menghadapi ujian, khusunya Ujian Nasional SMA yang memang salah satu pelajaran yang diujikan adalah Fisika.

    Saya mencoba berpikiran positif untuk hal ini dan alhamdulillah doa saya terkabul. Pertama kalinya saya diajarkan beliau, mindset saya mulai terbuka bahwa selama ini saya saja yang tidak pernah mau bersahabat dengan yang namanya Fisika. Setidaknya pikiran saya akan Fisika yang sulit berubah sedikit demi sedikit berkat ajaran beliau. Beliau selalu memberikan pengertian yang paling mudah dalam memahami pelajaran yang satu ini. Lewat beliau, setiap soal fisika seakan-akan terlihat mudah dan tak serumit yang dibayangkan. 

   Guru-guru di bimbingan belajar yang saya ikuti memang semuanya ramah-ramah dan salah satunya adalah beliau. Selain sebagai pemilik dan guru, beliau juga salah satu trainer dari salah perusahaan motivation training di Indonesia.

   Usia beliau masih muda sehingga masih lebih mudah untuk berbaur dengan murid-muridnya. Dia membangun bimbingan belajar ini bersama salah seorang temannya yang sama-sama lulus dari universitas yang sama. Memang bisa dikatakan usia bimbingan belajar ini tergolong masih baru namun berkat kegigihan mereka berdua, bimbingan belajar ini sudah bisa disejajarkan dengan bimbingan belajar lain yang sudah lama terkenal.


Kalau pelajaran dimulai, beliau mengajarkan dasar materinya terlebih dahulu kemudian menyuruh murid-muridnya mengerjakan satu soal dan langsung dibahas bersama-sama. Ssepertinya beliau mengerti bahwa saya masih tergolong jauh untuk memahami mata pelajaran ini.  Saya dapat mengatakan seperti itu karena setiap kali membahas soal, beliau lebih sering menunjuk saya untuk membahas soal yang telah dikerjakan dan saya yakin sebenarnya beliau pun tahu bahwa saya masih kesulitan menemukan jawabannya. Tapi, itulah cara beliau, dia mencoba mengajarkan kepada murid-muridnya supaya berani dan jangan takut salah terlebih dahulu dalam menghadapi soal.
 
Perkembangan nilai fisika saya pun bukan berarti dengan instan nya bisa melejit menjadi lebih baik. Memang ada perbaikan, tapi juga sedikit demi sedikit. Buat saya. selama saya menikmatinya, saya percaya setidaknya pasti ada hasil yang lebih baik karena usaha yang dilakukan juga didasari keyakinan. Dan saya mulai mencoba membuka diri untuk menyukai fisika, mencoba mempelajari, dan memahaminya dengan lebih dibandingkan sebelumnya.


Ujian pertama sesungguhnya dalam menghadapi persaingan ujian nasional dan ujian masuk universitas adalah ujian mandiri yang diadakan oleh Universitas Indonesia, namanya SIMAK UI. Waktu itu saya ingat, pilihan saya cukup tinggi yaitu Teknik Bioproses dan Ilmu Biologi. Saya pun sadar, waktu tidak banyak lagi dan saya harus memahami berbagai mata pelajaran lain dan itu tidak hanya fisika. Nilai-nilai yang saya peroleh bersama teman-teman saya, yang satu kelas di bimbingan belajar, pun sebenarnya bukan suatu nilai yang dapat dikatakan memuaskan. Saya tahu kenyataannya begitu karena ketika saya menanyakan ke teman-teman saya yang ikut bimbingan belajar lain, nilai-nilai mereka jauh lebih baik dari nilai-nilai yang diperoleh saya dan teman-teman sekelas bimbingan belajar saya.

    Tapi, beliau cuma berkomentar singkat, “Soal-soal yang dibuat disini memang bobotnya sedikit lebih sulit dibanding di bimbingan belajar lain. Kalian pasti bisa kok, nilai segini juga sudah bagus banget”. Teman-teman saya percaya itu, tapi entah mengapa saya merasa ucapan dari beliau dilontarkan semata-mata untuk menyemangati kami. Sejak saat itu kami selalu minta paket soal-soal dari bimbingan belajar tersebut, mengerjakan, dan membahasnya bersama-sama tanpa guru-guru terlebih dahulu. Saya akui, di bimbingan belajar inilah saya merasakan kekeluargaan yang sangat dimana satu sama lain saling mengajari materi-materi apa yang belum dipahami.
Suatu waktu sebelum menghadapi ujian dilakukan konsultasi untuk tiap murid dan kebetulan beliau juga yang menangani sesi konsultasi ini. Akhirnya giliran saya yang dipanggil kedalam ruangannya. Beliau membahas penilaian prestasi saya selama belajar disana dan terus memberi semangat kepada saya. Tak lupa menanyakan kendala-kendala apa saja yang saya rasakan dalam menghadapi ujian dan memberikan saran-saran penyelesaiannya. Bercerita dengan beliau sangat nyaman. Kita bebas mengeluarkan apapun yang ada di hati dan pikiran kita dan beliau dengan siap menanggapi semuanya.

    Saya ingat, sebelum konsultasi selesai beliau mengeluarkan 2 buah botol dari laci mejanya dan menaruhnya di depan saya. Kedua botol itu sama-sama berisi nasi yang sudah lama disimpan disana tapi diluar botol ada keterangan yang berbeda. Botol pertama, nasi tersebut terlihat sudah sangat busuk, berjamur, dan sangat menjijikan, botol itu ditulis dengan tulisan “kata-kata buruk”. Dan botol satu lagi, nasinya tidak berjamur, hampir terlihat bersih, dan lebih nyaman untuk dilihat, botol itu ditulis dengan tulisan “kata-kata baik”.

    Beliau berkata, “Kamu lihat kan? Betapa berpengaruhnya kata-kata positif atau negatif itu. Kakak ucapkan kata-kata negatif selama sebulan penuh ke botol pertama dan hasilnya seperti ini. Dan si botol satu lagi, kakak ucapkan kata-kata positif terus menerus selama satu bulan penuh juga dan lihat perbedaannya. Setiap benda memberikan tanggapan tersendiri terhadap apa yang dilihatnya, didengarnya, dirasakannya, dan nasi ini buktinya. Apalagi manusia. Makanya, perbanyaklah memuji diri sendiri, perbanyak ucapan kata-kata positif untuk diri sendiri, dan Insya Allah bisa menjadi manusia yang baik pula.”

    Sekali lagi aku belajar darinya.

    Suatu saat, kami shalat ashar berjamaah. Memang kebetulan konsep bimbingan belajar ini juga islami. Selesai shalat kali ini beliau memberikan semangatnya kembali untuk murid-muridnya, “Mungkin, kalian sama-sama belajar di sekolah seperti teman-teman kalian yang lain. Sebelum belajar kalian sama-sama berdoa, setiap hari juga ikut les di tempat masing-masing, sama-sama belajar, entah mengerjakan soal, meringkas, dan sebagainya. Sepintas usaha kalian setara dengan mereka. Tapi pernahkah kalian berpikir untuk berusaha lebih dari mereka?”


“Usaha yang sedang kalian lakukan, masih dibilang ‘usaha orang yang rata-rata’. Toh usaha-usaha yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan teman-teman kalian lainnya. Tapi pernahkah kalian mencoba, saat guru tidak masuk kelas dan teman-teman kalian dengan asyiknya bergerombol saling mengobrol menghabiskan waktu, sedangkan kalian memilih untuk membuka buku soal-soal dan mencoba menjawabnya? Ketika teman-teman kalian memilih setelah pulang les lalu segera tidur, sempatkah kalian mencoba meluangkan waktu barang satu jam saja untuk mencoba mengerjakan soal-soal kembali? Kalian harus bisa menjadi orang dengan usaha yang ‘di atas rata-rata’. Jangan mau merasa sudah cukup puas dengan usaha yang sama dengan orang lain. Mungkin kalian bukan yang paling hebat diantara mereka, tapi menjadi seorang pionir, kakak rasa itu sudah jadi sebuah prestasi tersendiri untuk diri kalian.”

    Sampai sekarang, kata-kata itu masih saya ingat dan akan saya jadikan penyemangat dalam hidup saya.
“Sekarang, setelah ini masing-masing mengambil kertas yang ada di meja kakak dan kita sama-sama menuliskan ‘SAYA, … (tulis nama kalian) ADALAH MAHASISWA JURUSAN … (tulis jurusan yang kamu inginkan) UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2009’ nanti kalian pasang di dinding kamar kalian.”


Dan kami melakukannya. 

    Saya menuliskan tidak hanya dikertas itu, tapi di buku-buku catatan saya, di kertas-kertas soal saya, dan apapun itu saya mencoba menuliskannya. Entah mengapa ada kekuatan tersendiri dari berbagai macam nasehat dan saran dari beliau untuk diri saya.


Hingga ujian SIMAK UI tinggal beberapa minggu lagi. 


  Waktu itu saya sepakat bersama teman-teman sekelas saya untuk menginap di tempat bimbingan belajar tersebut dan membahas soal-soal sebanyak mungkin. Dari siang diselingi dengan istirahat tentunya, kami belajar terus bersama-sama dan beliau ikut menemani kami untuk menginap. Kebetulan besoknya hari Kamis, saya dan teman-teman sekelas saya juga sepakat untuk puasa sunnah bersama-sama bahkan yang membuat saya salut, salah seorang teman saya yang beragama non-Islam ikut berpuasa dengan kami dengan cara agamanya sendiri, tidak terkecuali guru saya tersebut. Kami juga bersama-sama shalat tahajjud, berdoa bersama-sama, dan sahur bersama. Terkesan berlebihan kah? Buat saya tidak. Saya menikmatinya begitu juga dengan teman-teman saya. Dan saya rasa dengan semakin banyak kita menunjukkan usaha dan ibadah kita ke Allah, setidaknya tidak perlu merasa malu untuk meminta lebih kepadaNya, bukan?
 
Hingga akhirnya ujian tersebut dilaksanakan dan hasilnya?

     Belum ada dari kami yang lolos dalam ujian tersebut. Saya dan teman-teman sekelas saya. Tapi beliau menanggapinya dengan senyum, dan hanya berkata , “rezeki tiap orang berbeda-beda dan sudah diatur oleh Allah. Jadi tenang saja.”
 
    Singkat tapi benar adanya. Dan lagi-lagi saya masih mengingatnya.

    Ujian berikutnya, kami sibuk dengan Ujian Nasional. Untuk kali ini siapa pun tidak mau mengharapkan kegagalan. Saya masih ingat ketika H-2 Ujian Nasional dengan waktu setelah shalat maghrib berjamaah, beliau kembali menasehati semua murid-muridnya, tak terkecuali yang non-Islam. 

   “Kakak mau sedikit cerita. Ada sebuah kisah tentang seorang wanita yang belum dikaruniai seorang anakpun selama bertahun-tahun. Berbagai macam cara apapun, berdoa kepada Allah, puasa, apapun itu sudah dilakukan namun belum ada hasil. Akhirnya dia mengunjungi seorang ustadz dan sekedar menanyakan hal apa yang seharusnya dia lakukan agar keinginannya tercapai. Ustadz itu hanya menyarankan, ‘tuliskan 10 nama orang-orang yang juga mengalami hal yang sama seperti anda dan berikan kepada saya besok’. Wanita itu mencari orang-orang yang bernasib sama dengan nya dan keesokannya dia kembali mengunjungi ustadz tersebut.”

    “Ustadz tersebut mengamati kertas yang berisi nama-nama orang yang ditulis wanita tersebut dan hanya kembali berkata, ‘yang harus anda lakukan cukup mendoakan dengan ikhlas ke-sepuluh orang ini agar mendapatkan anak seprti keinginan anda’. Wanita itu sepintas merasa bingung dan kesal, toh dia yang meminta agar bisa memperoleh keturunan, tapi justru dia yang harus mendoakan sepuluh orang yang bernasib sama dengannya. Tetapi, karena keinginannya yang sangat kuat, akhirnya dengan ikhlas pula dia melakukan apa yang disarankan oleh ustadz tersebut. “

    “Beberapa bulan kemudian, wanita itu kembali mendatangi ustadz dan mengucapkan terima kasih yang sangat kepadanya. Akhirnya wanita tersebut berhasil mengandung seorang anak dan tak lupa ia menanyakan mengapa hanya dengan mendoakan ikhlas orang-orang yang senasib dengannya berdampak seperti ini. Sang ustadz hanya berkata, ‘Kalau kita punya keinginan, doakanlah dengan tulus orang-orang yang memiliki keinginan yang sama. Dengan mendoakan orang lain justru akan mempermudah kita mendapatkan apa yang kita inginkan.’ Jadi, kalian semua sama-sama punya keinginan lulus Ujian Nasional, saling mendoakanlah kalian untuk lulus bersama-sama.”


Saya belajar lagi darinya.

      Dan hasilnya kami lulus Ujian Nasional bersama-sama.


Dari kami, seiring berjalannya waktu, satu per satu sudah mulai ada yang diterima universitas baik lewat jalur undangan tanpa syarat atau lewat ujian mandiri. Namun saya belum mendapatkannya meskipun teman-teman sekelas saya di temapat bimbingan belajar pun juga ada yang belum mendapatkan universitas. 


Lagi-lagi saya masih ingat ketika beliau menceritakan kisahnya ke kami.”Dulu kakak bukan orang yang punya rangking satu, juara umum, dan sebagainya. Kakak bahkan dianggap murid paling tidak berpotensi dan tidak berprestasi oleh guru-guru di sekolah kakak. Sampai akhirnya, suatu hari kakak disuruh maju oleh guru kakak, beliau menanyakan cita-cita kakak dan kakak menjawab ‘saya ingin kuliah di jurusan teknik mesin, pak’. Apa tanggapan beliau? Beliau tertawa dan mengejek saya, ‘teknik mesin apa? Mesin jahit?’. Disaat itulah kakak berjanji dalam diri kakak untuk bisa membuktikan cita-cita kakak ke beliau.”

     “Kakak datangi teman kakak yang mendapatkan juara umum di sekolah, kakak tanya banyak hal apapun, bagaimana cara dia belajar, kapan saja, dan sebagainya. Kakak modifikasi hal-hal yang kakak pelajari darinya dan… cawu berikutnya kakak juara pertama dikelas bahkan juara umum. Dan kakak buktikan juga dengan bisa masuk Universitas Indonesia lewat jalur PMDK di jurusan teknik elektro.”

     “Kakak tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi kakak hanya ingin semangat kalian bahkan bisa lebih dari semangat kakak waktu dulu. Orang sukses itu mereka pentang menyerah, dan kalau kalian menyerah kamu akan susah menjadi orang sukses.”

     Saya mengingatnya dan akan selalu saya ingat.

      Beliau luar biasa hebatnya. Lulus dengan nilai memuaskan, memiliki beberapa usaha dan soal materi jangan ditanya. Tapi beliau tetap menunjukkan kesederhanaannya, sikap bijaknya, dan menularkan segala hal positif untuk murid-muridnya. Banyak hal, sangat banyak hal yang beliau tunjukkan kepada kami, mencoba terus menyemangati kami, hingga akhrinya semua murid-muridnya, khususnya saya dan teman-teman saya, alhamdulillah bisa masuk Perguruna Tinggi Negeri dengan jurusan yang juga diminati banyak siswa. Dan alhamdulillah saya kini kuliah di Institut Pertanian Bogor berkat semangat-semangat dari beliau.
                                                                             
 ***
Suatu waktu beliau menyenandungkan lagu “Laskar Pelangi” di samping saya ketika istirahat kelas sedang berlangsung. 
“Jangan berhenti, mewarnai.. Jutaan mimpi di bumi…”
Saya tersenyum dan rasanya ingin menangis. Waktu itu belum ada universitas yang mengambil saya untuk menjadi salah satu mahasiswanya. “Tuh kan, jangan pernah berhenti buat bermimpi, berkat mimpi itulah banyak orang-orang ‘kecil’ menjadi ‘besar’ dan sukses dikemudian harinya. Semangat Della, sebentar lagi kamu pasti keterima di unversitas terbaik di Indonesia.”
Beliau pergi dan meninggalkan sebuah kertas yang bertuliskan kata-katanya di buku saya, 
“Tulis impian kamu di selembar kertas harapan dengan pensil keyakinan dan biarlah Allah menghapus dengan penghapus takdirnya. Insya Allah itu yang terbaik untuk hidupmu”

       Ah, kak. Engkau memang guru yang paling luar biasa!




No comments: