Sunday, July 29, 2012

After A Long Time Has Passed..

Enam tahun bukan waktu yang lama untuk melupakan, bukan?

Semuanya bisa terhapus seiring berjalannya waktu, dan enam tahun itu bisa jadi jangka waktu yang tepat untuk melupakan apapun.
Bahkan semua yang dulu dianggap hal yang menyenangkan dan luar biasa, bisa dibinasakan layaknya kertas yang tintanya sudah memudar, mulai menghapus kalimat-kalimat yang tertulis disana.
Dan saya rasa, kamu juga begitu.

Saya tidak mau menciptakan teori, ini hanya pemikiran saya saja.

Malam ini, rasanya ingin sekali berteriak. Melepaskan semua perasaan yang entah saya sendiri sudah lelah untuk merasakannya. Tapi saya tidak kuasa berteriak seperti adanya, hanya bisa dalam hati saja.

Hanya dalam hati saja.
Ya, God is the best listener. You don't need to shout not cry out load because the hears even the very silent prayer of a sincere heart.

Galau? Haha, setiap manusia pasti pernah merasakan galau. Itu hal yang wajar dan manusiawi menurut saya. Hanya saja saya mengingat satu hal, ""Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S Al-Baqarah: 153) atau Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Q.S. Al-Baqarah: 45).

Wah, saya juga bukan orang yang "ngerti banget" sama hal begini, tapi saya yakin satu hal terhadap agama saya. Al-Qur'an dan Hadist itu sudah yang terbaik untuk solusi berbagai permasalahan di dunia yang tidak ada henti-hentinya. Dan galau, dalam artian sesungguhnya,"kondisi dimana pikiran orang sedang kacau, kusut" dan itu tandanya butuh "sesuatu" pertolongan kecil sekalipun sederhana, tapi setidaknya bisa "melegakan" hati, bukan?

Dan itu yang saya lakukan, setelah shalat, saya juga bercerita panjang lebar padaNya. Hal yang lumrah bukan, untuk bercerita tentang apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan, apa yang kita rasa itu "berat". Karena Dia sebaik-baik tempat curhat yang kita miliki.

Ya, saya ingin meminta agar perasaan saya dihentikan terhadapnya. Perasaan yang sia-sia, perasaan yang percuma. Perasaan yang sampai kapan pun tak terbalas, perasaan yang mematikan rasa lain disekeliling saya. Perasaan yang memendekkan pikiran saya bahwa hanya dia saja yang pantas untuk saya.

Padahal dia tak anggap saya adalah yang pantas untuk saya. Tidak seperti saya menganggap dia yang terbaik untuk saya.

Rasanya memang semua sia-sia, dan satu-satunya cara adalah..
Saya harus melupakan dia sebagaiman dia juga melupakan saya.

Bisa kah? Melupakan tapi tidak bermaksud memutuskan persaudaraan. Melupakan hanya sebatas atas apa yang saya rasakan dan segala kenangan yang entah tak terhitung pernah jalankan dalam hdup saya. Hanya itu saja.
Rasanya sudah lelah. Saya tahu, saya memang harus bersabar. Bersabar sampai suatu saat nanti, Allah akan berikan "bukti" untuk saya, apakah saya memang harus "melupakan" dengan sebenar-benarnya atau tidak.

Ada kalanya cinta lama hanya tinggal sejarah. Ada kalanya dia datang dan datang lagi, seperti mimpi dan deja vu yang datang berulang. Dan ada kalanya dia seperti harta karun yang tertimbun dan tetap akan dicari hingga kapanpun.

Saya lelah. Rasanya saya ingin memilih pilihan yang pertama.

Hentikan ya Allah. Harus dengan apalagi saya menghilangkannya kalau bukan dengan bantuanMu?
Saya benci dia, bukan begitu perasaan yang sebenarnya?
Salah, saya benci perasaan saya, yang tak pernah hilang hanya untuk orang seperti dia.

Allah, enam tahun seharusnya menjadi waktu dimana saya bisa melupakan segalanya, bukan? Tapi kenyataannya, sampai sekarang, semuanya tidak pernah lepas dan bahkan sulit dilepas dalam memori saya?
Bisakah kau berikan saya "virus" supaya kenangan itu terdeteksi terkena "virus" tersebut dan saya akan lebih mudah untuk menghapusnya?

Saya sudah menyerah, untuk hal ini..

***

Majubomyeo nanudeon yaegideul
uridulman aratdeon yaegideul
jiulsueomnabwa beorilsuneomnabwa
itjimotanabwa
oraenmane dulleobon georideul
gireul jinalttaemyeon johahaetdeon gieogi
jakku tteoollaseo balgireul meomchunda

hancham jinaseo na jigeumyeogi wasseo
geuttaega geuriwoseo moreunche sarado saenggangnadeora
geureon neoraseo jakkunune barphyeoseo
hamkke bonaen sigandeul
chueokdeuldo byeolcheoreom ssodajineunde
neon eotteoni

haengbokhaeman boineun saramdeul
naman honja oeroi nameun geotmangataseo
anin cheokhaebwado nisaenggaginanda

hanchamjinaseo na jigeumyeogi wasseo
geuttaega geuriwoseo moreunche sarado saenggangnadeora
geureon neoraseo jakkunune barphyeoseo
hamkke bonaen sigandeul
chueokdeuldo byeolcheoreom ssodajineunde nunmurina

yeogiseoneol gidarimyeon bolsuisseulkka
geuttaenmalhaejulsuisseulkka ireonnae maeumeul

bogosipeoseo deobogosipeojyeoseo

geureon naraseo nan neobakke mollaseo
neoeobsisaldaboni modeunge huhoero gadeukhadeora
nigaeobseoseo heojeonhange deo manhaseo
oneuldo balgeoreumeun ijariga geuriwo gajimotago bulleobonda

Ost. Rooftop Prince - After A Long Time Has Passed

***

[Indonesian translation:. http://haerajjang.wordpress.com]

Saat bertemu kita berbagi cerita, cerita dimana hanya kita berdua yang tahu
Sepertinya aku tak dapat menghapus, membuang, dan melupakannya
Aku mengedarkan pandangan ke jalan cukup lama
Kenangan yang kusukai saat melewati jalan ini
terus menerus muncul sehingga menghentikan langkah kakiku

Setelah sekian lama hingga saat aku datang kemari saat ini
Aku merindukan masa itu, hingga tanpa sadar aku memikirkan kehidupan saat itu
Karena dirimu yang terus menerus melangkah di mataku
Kenangan saat-saat menghabiskan waktu bersama seperti bintang bertaburan, namun
bagaimana dengan dirimu?

Orang-orang terlihat bahagia
Hanya aku yang sepertinya dibiarkan sendiri, kesepian
Tak ada kepura-puraan, aku memikirkanmu

Setelah sekian lama hingga saat aku datang kemari saat ini
Aku merindukan masa itu, hingga tanpa sadar aku memikirkan kehidupan saat itu
Karena dirimu yang terus menerus melangkah di mataku
Kenangan saat-saat menghabiskan waktu bersama seperti bintang bertaburan, namun
aku menangis

Dapatkah kau melihatku saat aku menantimu di sini?
Dapatkah nantinya aku menyatakan perasaanku?

Aku merindukanmu, bahkan lebih merindukanmu
Karena dirimu, aku hanya tahu tentang dirimu
Kehidupan tanpamu, semua penuh dengan penyesalan
Tanpa dirimu, aku merasakan banyak kehampaan
Hari inipun langkah kakiku merindukan tempat ini, tak dapat beranjak dan memanggilmu

***

Saya terhenyak.
Ya, lagu ini benar seperti apa yang saya rasa..

Friday, July 27, 2012

Iseng untuk Kalian, Wahai Para Pengubah Dunia!

Ketagihan mengajar.

Jujur itu hal yang saya rasakan setelah sekian lama berkutat dengan yang namanya anak-anak waktu kegiatan SOUL (Solidarity of Our Children) dari BEM waktu itu. Anak-anak kecil polos yang rasa ingin tahunya sangat luar biasa dan semangatnya juga luar biasa. Mungkin sederhana, nggak dikasih duit, nggak dikasih apa-apa dari hasil mengajar. Tapi ada satu hadiah luar biasa setiap kali mengajar mereka.

Mereka mengerti.

Buat saya, itu sudah cukup, meskipun belum memahami. Mungkin, dibandingkan dengan kita yang bisa sekolah dengan nyamannya, sekolah yang bagus fasilitasnya, guru-gurunya, atau sekolah yang dianggap unggulan di kota masing-masing, sekolah mereka jauh nggak ada apa-apanya.

Jangankan sekolah, di sekitar kampus yang katanya termasuk 10 Perguruan Tinggi Negeri terfavorit dan Terunggul di Indonesia masih banyak anak-anak yang belum punya kesempatan buat sekolah. Yaaa, mungkin buat kalian yang saat ini bisa mengenyam pendidikan, hal itu terkesan biasa aja. 
Dan saya yakin, tidak hanya di daerah sekitar kampus saya, yang lain pun saya rasa masih ada hal seperti ini. Tapi pernahkah berpikir bahwa dampak pendidikan itu besar banget buat pembangunan suatu negara?

Ah, saya nggak mau banyak berteori.

Yang saya ingin bagikan dengan kalian, bahwa mereka senang lho ketika ada "orang" yang mereka anggap "Pintar" mau mengajar mereka. Mereka semangat dan mungkin yang ada di benak mereka, "Hari ini belajar apa ya?".

Saya mengutip dari cerita seseorang, waktu itu dia mencoba mengajar di salah satu daerah yang pendidikannya masih kurang dan rawan banjir. Waktu itu dia sedang mengajar dan ternyata tanpa sadar, kelas tempat dia mengajar mulai digenangi air. Langsung saja dia menutup pintu untuk menghalau aliran air dengan menumpukkan batu bata di pintu masuk kelas. Dia mengambil keputusan, lebih baik belajarnya ditunda dulu karena kondisi kelas yang sudah tidak memungkinkan (banjir sudah hampir setara dengan kursi). Tapi murid-muridnya cuma bilang, " Nggak, kak. Kita mau belajar aja. Lagi juga kalau pulang kan lagi banjir."

Mereka semangat. Mengalahkan semangat yang mengajar.

Belum ditambah ketika waktunya tiba untuk mengajar murid yang lain, dia berpikir kalau murid itu tidak akan datang. Toh, kondisi diluar banjir dan pastinya membuat orang-orang malas untuk ke sekolah sekedar belajar tambahan. Tapi gak lama kemudian,

"Kakak, ayo belajar. Aku masuk yaaa.."
"Rajin sekali kamu datang ke sekolah. Kamu sendirian?"
"Iya, teman-teman yang lain malah asyik berenang disana. Tapi aku mau belajar saja, aku penasaran kakak mau ngajar apa hari ini."

Lebih dari cukup. Semangat untuk hadir saja itu lebih dari cukup.
Dan semangat seperti inilah yang dibutuhkan negara. Mereka nggak peduli dengan apapun yang terjadi, bagi mereka "keinginan" dan "kerinduan" buat belajar lebih dari hal-hal yang tak perlu dipikirkan seperti itu.

Ingat juga ketika anak-anak di sekolah waktu mengajar Bahasa Inggris bersorak luar biasa menyambut kedatangan mahasiswa-mahasiswa yang mereka anggap "lebih pintar" dibanding mereka. Mereka bahagia,nggak ada rasa mengeluh datang siang-siang hanya untuk sekedar belajar bahasa Inggris yang juga "standar". Tapi mereka menikmatinya. Itulah mengapa masih banyak anak-anak yang semangat sekolah.

Guru di sekolah itu pun terbatas cuma beberapa saja dan itu bisa dihitung pakai jari. Kelasnya pun juga cuma kelas 3, 4, 5, dan 6. Kenapa bisa begitu? Mana kelas 1 dan 2 nya?

Dan lebih menyedihkannya lagi. Saya sedih dengan standar nilai kelulusan yang ditetapkan di sekolah. Mereka menstandarkan nilai kelulusan sebagai berikut.
Matematika = 3,5
Bahasa Indonesia = 4
Bahasa Inggris =3,5
Agama = 5

Apa yang mau dihasilkan dengan tingkat kelulusan yang seperti itu? Agama hanya diberi nilai kelulusan dengan angka 5 saja sudah cukup kah? Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris dengan nilai itu sudah berarti kah?

Mereka nakal-nakal. Itu karena lingkungan yang menimpanya.
Mereka terkadang nggak sopan. Itu karena pendidikan mereka pun terbatas.
Mereka terkadang usil, menyebalkan, dan sebagainya. Tapi dibalik itu semua, mereka punya harapan seperti kita. Bisa sekolah, baca, nulis, berhitung, tapi apa daya kemampuan finansial yang meghalang mereka untuk memenuhinya.

Saya juga ingat ketika waktu lagi mengajar, ada anak kecil di depan pintu. Saya bertanya, "Kok kamu nggak ikutan belajar di dalam kelas? Ayo masuk! Tuh teman-temannya pada belajar."
Dia cuma geleng-geleng kepala, "Nggak kak. Aku kan nggak sekolah..."

Kasihan kah yang ada dipikiran saya pertama kalinya? Nggak. Tapi yang ada di pikiran saya pertama kalinya cuma MIRIS. Ya! Miris. Lagi-lagi didaerah dengan Perguruan Tinggi yang luar biasa hebatnya, tapi ternyata masyarakat disekitarnya buat sekolah saja ada yang nggak mampu. Tertimpang banget kondisinya. Mungkin ada berbagai faktor yang membuat hal-hal seperti itu terjadi. Ya, saya pun sadar akan hal itu.

Tapi tahukah bahwa diluar sana masih banyak anak-anak yang butuh ilmu, tapi pengabdian masyarakat bagi yang katanya "orang berilmu" itulah yang masih kurang. Saya yakin, yakin sekali banyak lulusan universitas terkenal di negara ini, tapi pernahkah sedikit saja melihat bahwa masih ada "adik-adik" kalian dengan nasib yang seperti ini?

Sekali lagi benar kata salah satu dosen saya,
Orang yang pintar itu banyak, yang aktif organisasi, yang pintar berorasi itu banyak. Tapi orang yang peka pada sekitarnya, masih sangat jarang dimiliki di negara ini.

Saya juga merasakan suatu hal yang sangat luar biasa dan nggak bisa di ungkapkan dengan kata-kata ketika anak-anak yang belajar dengan kami (saya dan teman-teman saya) berterima kasih atas semua pelajaran yang diajarkan kepada mereka. Mereka mengucapkan terima kasih, atas apa yang sudah kami ajarkan, meskipun hanya pelajaran Bahasa Inggris standar yang sudah seharusnya bisa dipelajari di kelas 1 SD.

Mereka tulus mengatakannya. Mereka tulus mengucapkan kata-kata "terima kasih" dan dengan terpaksa saya mengeluarkan air mata. Dan lagi-lagi itu yang membuat saya berpikiran bahwa,
Diluar sana masih banyak yang butuh kita.
Jangan pernah anggap diri kita nggak berguna.

Ya, saya rasa, mengajar bukan hanya tugas seorang guru, tapi tugas semua umat manusia di dunia.

***

Ketagihan mengajar.
Saya suka dengan quotes berikut ini, sederhana tapi sangat punya makna.
"Aku menyentuh masa depan. Aku mengajar" (Christa Mc Auliffe)
dan
"Kita tidak selalu bisa membangun masa depan bagi generasi muda. Tapi kita bisa membangun generasi muda untuk masa depan" (Franklin D Roosevelt)

Ya, kita bisa membantu mereka, mengajak mereka untuk "bisa" seperti orang-orang yang mereka anggap "hebat" ini, membangun karakter dan kemampuan yang memang mereka miliki. Tidak hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk kemajuan Indonesia.

Semoga suatu saat nanti saya bisa buat sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu dan membuat sebuah Indonesian Kids Fund untuk membiayai pendidikan anak-anak kurang mampu di negara ini.

***

Sunday, July 8, 2012

Hari Ini Saya Berumur 21 Tahun..

Hari ini, bukan hari yang luar biasa buat orang-orang. Bukan seperti hari raya, dimana semua masyarakat penjuru menunggu hari ini, mempersiapkan sebaik mungkin untuk hari tersebut, dan menikmatinya luar biasa pada saat waktunya tiba.

Bukan hari kemerdekaan, semuanya bisa menikmati liburan. Dikenang semua orang, dan mereka rela memberikan doa meskipun sesingkat-singkatnya (Setidaknya hanya mengheningkan cipta saja itu sudah sangat berarti buat negara), tidak semua penjuru se Indonesia menyanyikan lagu seperti lagu kemerdekaan yang berkumandang sahut menyahut seharian penuh.

Tapi biar begitu, hari ini berarti sangat buat saya. Berarti karena saya begitu menunggunya, berarti karena saya mengharapkan hari ini akan segera tiba, berdoa semoga segala kebahagiaan dan keberuntungan lain terus mengalir pada hidup saya dimulai dari hari ini.

Karena saya mulai dipercaya Tuhan untuk hidup dan merasakan dunia pada tanggal ini.

21 tahun bukan waktu yang singkat untuk melatih diri ini menjadi lebih dewasa dan mampu dianggap dewasa oleh orang lain. 21 tahun juga bukan waktu yang mudah untuk membentuk sikap ini menjadi lebih berakhlak mulia, segala kebaikan dipertambah dan keburukan dalam diri saya. 21 tahun bukan waktu yang sulit untuk dipahami dan 21 tahun ini bukan waktu yang lama untuk merasakan berbagai kejadian dan pengalaman silih berganti muncul dalam kehidupan dan memberikan makna tersendiri untuk diri saya.

Karena saya, memiliki orang-orang yang luar biasa di sekeliling saya.


Orang-orang yang selalu menyemangati saya dikala saya merasa terjatuh.
Orang-orang yang selalu membuat saya tersenyum, meskipun singkat, dikala hati saya kacau.
Orang-orang yang selalu mengingatkan saya ketika saya terlupa.
Orang-orang yang selalu "membangunkan" agar saya "terjaga" dari mimpi-mimpi saya.
Orang-orang yang selalu menyisipkan nama saya, dalam doa-doa kebaikannya.

Itulah mengapa saya menganggap 21 tahun bukan waktu yang sia-sia. Saya tak akan pernah menyangkalnya, tak akan menyesalinya bahwa umur saya semakin bertambah.

Karena itu bukan pilihan, itu takdirNya, dan saya, mau tak mau harus menerimanya.

21 tahun juga saya belajar banyak. Saya tak akan pernah lupa, selama itu banyak ilmu luar biasa yang bisa saya peroleh hingga waktu membentuk saya seperti ini.

Dalam tahun-tahun itu saya belajar banyak hal yang saya tak akan pernah mau menukarnya dengan perhiasan apapun.
Saya belajar merasakan ketika umur saya masih dibawagh satu tahun.
Saya belajar bagaimana saya menikmati pelukan kedua orang tua saya yang paling ternikmat dalam selama hidup saya ketika saya masih kecil.
Saya belajar merangkak, menggenggam benda apapun yang mampu saya genggam.
Saya belajar melihat apa yang bisa saya lihat.
Saya belajar dan mencoba mengucapkan sepatah kata, meskipun itu hanya ucapan kata "mama" atau "papa".
Bertambah sedikit umur ini, saya belajar berjalan. Tertatih-tatih, tapi saya mampu melewatinya hingga saya bisa berjalan bahkan hingga berlari dengan mulusnya saat ini.
Saya meminta belajar sepeda pada orang tua saya. Sulit, tapi setidaknya saya mampu menjalankannya sekarang meski tidak seprofesional atlit olahragawan sepeda.
Saya meminta diajarkan membaca, hitung-menghitung, bertanya banyak hal yang tidak saya ketahui, bahkan menuntut diri saya untuk meminta orang tua menyekolahkan saya dengan menambahkan tangisan yang menjadi-jadi.
Saya belajar mengenal orang lain. Saya belajar berteman dengan orang lain.

Tapi ketika itu pula, saat saya terhubung dengan orang lain, saya juga belajar hal-hal lain.
Saya belajar berbohong dalam bentuk apapun.
Saya belajar egois ke orang lain.
Saya belajar bahwa semua bisa terselesaikan dengan tangisan.
Meskipun saya tahu, orang tua saya amat sangat tidak mengajari saya akan hal itu dan tidak mengharapkan anaknya seperti itu.
Tapi begitulah waktu. Kembali saya belajar banyak.

Dalam waktu selama dua puluh satu tahun itu, saya bertemu teman-teman saya yang lainnya. Saya bisa merasakan rasa setia, kebersamaan, kenakalan bocah-bocah, hingga sakit hati karena pertemanan.
Saya belajar berbagai ilmu yang bahkan dulu saya tak mengerti. Dulu hanya mengerti tambah-kali-kurang-bagi, membaca sepatah-patah, tapi kini saya tahu apa itu matematika yang sesungguhnya, Bahasa Inggris, IPS, IPA, Kesenian...
Dan lambat laun saya mencoba mempelajari diri saya, apa yang saya suka dan apa yang saya tidak suka.

Saya suka musik.
Saya suka membaca.
Saya suka membuat kerajinan tangan.
Atau bahkan saya suka jalan-jalan bersama sahabat-sahabat saya.
Tapi saat itu juga saya mulai belajar menetang.
Menentang terhadap apapun yang tidak saya sukai, masa bodoh dengan pikiran orang lain.
Saya belajar mengatakan "tidak mau".
Saya belajar mengatakan "saya tidak suka".
Tanpa disadari ternyata sikap itu berkorelasi dengan munculnya sikap menuntut dalam diri saya.

Semakin bertambahnya usia, saya mencoba belajar dari hal-hal kecil dan mencoba mengubahnya.
Saya mencoba memahami makna kehati-hatian.
Mana orang yang saya pandang baik, mana orang yang saya pandang jahat.
Mencoba menjadi anak yang mau membahagiakan orang tuanya dengan prestasi-prestasi kebaikan apapun bentuknya.
Mengurangi kenakalan.
Dan mengetahui apa namanya cinta.
Meski belum seserius kenyataannya.

Ketika saya dinyatakan remaja, saya mulai memhami bahwa dosa-dosa saya tidak lagi ditanggung orang tua saya. Saya mencoba melatih diri saya shalat memenuhi 5 waktu meski masih sangat terundur sekali waktunya.
Mencoba melatih baca Al-Qur'an meski terbata-bata.
Tapi kenakalan remaja tetap tidak bisa dihindari. Itu alamiah muncul dalam tiap remaja, siapapun itu.
Teman-teman saya mengajarkan saya bolos sekolah.
Mengajarkan saya menggunakan uang sekolah untuk jajan.
Mengajarkan saya untuk hal-hal yang tidak baik.
Tapi ego saya masih mengingat, pada orang-orang baik disekeliling saya. Pastinya mereka tak akan pernah mengharapkan saya menjadi "anak nakal" yang mereka miliki dan mereka temui.
Satu hal baru lagi, saya belajar memiliki "impian".

Seiring berjalannya waktu, banyak pengorbanan pula yang saya harus lakukan untuk segala mimpi-mimpi saya.

Saya harus belajar semaksimal mungkin supaya lulus UN.
Saya harus belajar semaksimal mungkin supaya bisa diterima universitas.
Setidaknya saya yakin, biarlah saya bersusah payah karena kebahagiaan nantinya juga bukan hanya untuk saya. Tapi untuk orang-orang baik disekeliling saya, terkhususkan orang tua saya.
Lagi-lagi orang tua.

Terus..terus..dan terus..

Dua puluh satu tahun bukan waktu yang singkat apabila saya kembali menceritakan nya pada kalian. Meskipun sangat singkat untuk saya rasakan.
Seperti saat ini, rasanya kemarin saya masih digendong ibu saya kemana-mana, baru bisa belajar berjalan, baru masuk sekolah SD, SM, SMA...

Tapi sekarang, saya seorang mahasiswa.
Dengan mimpi-mimpi saya.

Yang akan terus mengalir, terus saya catat dalam memori saya, terus saya coret apabila mimpi saya sudah saya dapatkan...

Dua puluh satu tahun bukan waktu yang biasa-biasa saja. Bukan waktu yang bisa aya anggap percuma.
Dua puluh satu tahun bukan gerbang ketika saya merasakan "umur saya sudah kepala dua".
Karena menjadi tua itu tuntutan hidup.
Tapi menjadi bijaksana dalam hidup itu adalah pilihan.
Dan saya memilih mencoba menjalani hidup dengan bijaksana.

Menyelesaikan kuliah, memperoleh pekerjaan yang diinginkan, membahagiakan orang tua dengan semaksimal apa yang saya punya..

Dua puluh satu tahun, ketika mimpi-mimpi yang lebih luar biasa untuk hidup saya bermula dari sini.
Dua puluh satu tahun, ketika saya masih percaya Tuhan berikan saya waktu yang "lebih" untuk terus mengeruk emas pahala sebanyak-banyaknya di dunia.
Dua puluh satu tahun, ketika saya semakin sadar, bahwa akan selalu ada orang-orang baik dan bijaksana dalam hidup saya..

***

Hari ini saya berumur 21 tahun.
Dan saya menikmatinya.. :)

***