Saya menulis ini, cuma sebagai salah satu Warga Negara Indonesia yang ilmunya masih cetek, nggak ngerti politik, buta hukum, dan masih banyak nggak ngerti lainnya lagi.
Tapi setidaknya saya mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada negara ini, yang mau menampung saya selama 21 tahun lamanya, entah ibu pertiwinya lelah terhadap tingkah laku saya selama ini, semoga saja saya termasuk anak baiknya, meskipun bukan bagian dari anak-anak yang berprestasi untuknya.
Enam puluh tujuh tahun, bukan waktu yang sebentar. Ngakunya merdeka, tapi berasa merdeka dari penjajahan secara fisik doang. Kemerdekaan yang diakuin oleh negara lain, senang karena penjajah telah dihapuskan dari muka bumi (negara ini), tapi nggak sadar, diam-diam penjajah masih ada dan melanjutkan agresi militer mereka yang ke 3, ke 4, ke 5 dan seterusnya lewat perang pemikiran, dengan cara yang lebih cerdik dan licik lagi.
Yang ngalamin ini, saya rasa juga bukan Indonesia doang. Negara lain yang masih lemah "iman" juga pasti bakalan kena ulahnya si para penjajah yang jauh lebih cerdik dan licik ini.
Kakak saya ngerti sejarah. Statement ini nggak terlalu penting sih sepertinya. Tapi karena kegilaannya kakak gue akan sejarah itulah, gue agak tercekoki.
Gue agak mulai menyukai baca-baca buku yang berbau sejarah, yang kontroversial dimana Indonesia keliatan banget dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum barat pada masa sekarang, bahkan buku sejarah yang kertasnya tua sekalipun (berhubung penasaran) sempet juga gue baca. Bahkan waktu zamannya gue masih sekolah, pas ada tugas sejarah atau mau ulangan sejarah, referensi gue mah pakainya buku sejarah punya kakak gue.
Sekali lagi statement ini nggak terlalu penting-penting amat.
Sempet gue baca bahkan, kalau atlantis itu adalah Indonesia. Telepas dari faktanya yang dipaparkan, harusnya kita ngeh dong, betapa hebatnya nih negara. Tapi kok ya, masih ada aja yang nggak bersyukur sama kondisi yang luar biasa ini. Saking nggak bersyukurnya, mau aja diperalat bangsa lain.
Tapi setidaknya saya belajar dan saya yakin orang-orang, masyarakat Indonesia seluruhnya juga udah tau (sekalipun nggak baca bener buku-buku sejarah), kalau para pahlawan berjuang mati-matian buat bikin negara Indonesia kalau para pahlawan berjuang mati-matian buat bikin negara Indonesia merdeka. Film dokumenter, atau film bioskop zaman sekarang juga udah banyak yang nayangin itu. Tapi kok ya, kayaknya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
17 Agustus berasa sekedar seremonial dimana jam 10.00 waktunya pengibaran bendera, setelah itu ada lomba-lomba di RT/RW, pensi kecil-kecilan (kalo ada), sampai dangdutan. Acara-acara di TV yang banyak banget nayangin film-film bernapaskan kemerdekaan, nasionalisme, atau bentuk pengabdian apapun itu.
Nggak salah sih. Masa untuk kebahagiaan bersama, dilarang.
Tapi, udah merasa merdeka dengan begitu aja? Cuma ritual yang emang udah ada waktu tetapnya, mengheningkan cipta sejenak, terus?
Syukur-syukur kalau ada yang sadar sama kondisi negara, ada juga yang udahan gitu aja.
Ya sama juga sih kayak gue. Hahaha.
Tapi itu juga kadang-kadang kok.
#ngeles
Para narapidana yang entah udah ngelakuin kejahatan dengan niat apapun juga ikutan seneng banget kalau udah 17an. Saatnya dapat remisi, gitu kan? Pengurangan waktu negdokem di penjara, dan yes setidaknya bentar lagi gue bisa keluar..
Terutama para koruptor kelas kakap dan jago banget ngelesnya itu, yang entah punya malu atau nggak.
Rakyat yang berani menghina dan menghujat pemimpinnya (nggak hanya presiden doang). Kalau pemimpin salah, beritahukan kesalahan mereka. Apa cara terbaik hanya dengan menghina, menghujat, menyebar fitnah, dan cara licik lainnya? Kalau memang sudah busuk semuanya, apa dengan demo, teriak sana-sini, panas-panasan doang, bisa nyelesain masalah?
Bisa sih, tapi paling nggak di dengerin.
Pemimpin sekarang kan udah masa bodo sama tingkah rakyat yang begitu. Beda sama zaman dulu, dulu juga demonya berapi-api, berisi, nggak cuma nyalahin doang. Pemimpinnya pun legowo, mau mendengarkan dan mau "sadar", setidaknya ke rakyatnya.
Ini yang namanya negara ramah? Negara yang berkepribadian dimata negara lain?
Saking ramahnya, beginilah nasibnya.
Merasa masih merdeka, disaat kebudayaan diklaim negara lain?
Merasa masih merdeka, disaat tindak kriminalitas makim terasa?
Merasa masih merdeka, disaat tingkat kemiskinan, buta huruf, kurangnya angka lulus sekolah, pengangguran merajalela ditiap sudut daerahnya?
Merasa masih merdeka ketika lebih bangga merekut atau terekrut soal lapangan pekerjaan oleh bangsa asing?
Merasa masih merdeka, ketika berpendapat benar-benar bebas sebebas-bebasnya tanpa peduli perasaan orang lain?
Merasa masih medeka, ketika rakyat tidak percaya dengan siapapun pemimpinnya?
Merasa masih merdeka, ketika bibit unggul, orang Indonesia lulusan terbaik dalam pendidikan dan keterampilannya lebih dipercaya, direbut, dan lebih memilih oleh negara asing?
Saya ngutip dari buku pidato "Indonesia Menggugat" nya Ir. Soekarno, ngambilnya sepotong-sepotong sih, yang menurut saya ngena banget (buat saya sih)..
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Tapi setidaknya saya mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada negara ini, yang mau menampung saya selama 21 tahun lamanya, entah ibu pertiwinya lelah terhadap tingkah laku saya selama ini, semoga saja saya termasuk anak baiknya, meskipun bukan bagian dari anak-anak yang berprestasi untuknya.
Enam puluh tujuh tahun, bukan waktu yang sebentar. Ngakunya merdeka, tapi berasa merdeka dari penjajahan secara fisik doang. Kemerdekaan yang diakuin oleh negara lain, senang karena penjajah telah dihapuskan dari muka bumi (negara ini), tapi nggak sadar, diam-diam penjajah masih ada dan melanjutkan agresi militer mereka yang ke 3, ke 4, ke 5 dan seterusnya lewat perang pemikiran, dengan cara yang lebih cerdik dan licik lagi.
Yang ngalamin ini, saya rasa juga bukan Indonesia doang. Negara lain yang masih lemah "iman" juga pasti bakalan kena ulahnya si para penjajah yang jauh lebih cerdik dan licik ini.
Kakak saya ngerti sejarah. Statement ini nggak terlalu penting sih sepertinya. Tapi karena kegilaannya kakak gue akan sejarah itulah, gue agak tercekoki.
Gue agak mulai menyukai baca-baca buku yang berbau sejarah, yang kontroversial dimana Indonesia keliatan banget dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum barat pada masa sekarang, bahkan buku sejarah yang kertasnya tua sekalipun (berhubung penasaran) sempet juga gue baca. Bahkan waktu zamannya gue masih sekolah, pas ada tugas sejarah atau mau ulangan sejarah, referensi gue mah pakainya buku sejarah punya kakak gue.
Sekali lagi statement ini nggak terlalu penting-penting amat.
Sempet gue baca bahkan, kalau atlantis itu adalah Indonesia. Telepas dari faktanya yang dipaparkan, harusnya kita ngeh dong, betapa hebatnya nih negara. Tapi kok ya, masih ada aja yang nggak bersyukur sama kondisi yang luar biasa ini. Saking nggak bersyukurnya, mau aja diperalat bangsa lain.
Tapi setidaknya saya belajar dan saya yakin orang-orang, masyarakat Indonesia seluruhnya juga udah tau (sekalipun nggak baca bener buku-buku sejarah), kalau para pahlawan berjuang mati-matian buat bikin negara Indonesia kalau para pahlawan berjuang mati-matian buat bikin negara Indonesia merdeka. Film dokumenter, atau film bioskop zaman sekarang juga udah banyak yang nayangin itu. Tapi kok ya, kayaknya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
17 Agustus berasa sekedar seremonial dimana jam 10.00 waktunya pengibaran bendera, setelah itu ada lomba-lomba di RT/RW, pensi kecil-kecilan (kalo ada), sampai dangdutan. Acara-acara di TV yang banyak banget nayangin film-film bernapaskan kemerdekaan, nasionalisme, atau bentuk pengabdian apapun itu.
Nggak salah sih. Masa untuk kebahagiaan bersama, dilarang.
Tapi, udah merasa merdeka dengan begitu aja? Cuma ritual yang emang udah ada waktu tetapnya, mengheningkan cipta sejenak, terus?
Syukur-syukur kalau ada yang sadar sama kondisi negara, ada juga yang udahan gitu aja.
Ya sama juga sih kayak gue. Hahaha.
Tapi itu juga kadang-kadang kok.
#ngeles
Para narapidana yang entah udah ngelakuin kejahatan dengan niat apapun juga ikutan seneng banget kalau udah 17an. Saatnya dapat remisi, gitu kan? Pengurangan waktu negdokem di penjara, dan yes setidaknya bentar lagi gue bisa keluar..
Terutama para koruptor kelas kakap dan jago banget ngelesnya itu, yang entah punya malu atau nggak.
Rakyat yang berani menghina dan menghujat pemimpinnya (nggak hanya presiden doang). Kalau pemimpin salah, beritahukan kesalahan mereka. Apa cara terbaik hanya dengan menghina, menghujat, menyebar fitnah, dan cara licik lainnya? Kalau memang sudah busuk semuanya, apa dengan demo, teriak sana-sini, panas-panasan doang, bisa nyelesain masalah?
Bisa sih, tapi paling nggak di dengerin.
Pemimpin sekarang kan udah masa bodo sama tingkah rakyat yang begitu. Beda sama zaman dulu, dulu juga demonya berapi-api, berisi, nggak cuma nyalahin doang. Pemimpinnya pun legowo, mau mendengarkan dan mau "sadar", setidaknya ke rakyatnya.
Ini yang namanya negara ramah? Negara yang berkepribadian dimata negara lain?
Saking ramahnya, beginilah nasibnya.
Merasa masih merdeka, disaat kebudayaan diklaim negara lain?
Merasa masih merdeka, disaat tindak kriminalitas makim terasa?
Merasa masih merdeka, disaat tingkat kemiskinan, buta huruf, kurangnya angka lulus sekolah, pengangguran merajalela ditiap sudut daerahnya?
Merasa masih merdeka ketika lebih bangga merekut atau terekrut soal lapangan pekerjaan oleh bangsa asing?
Merasa masih merdeka, ketika berpendapat benar-benar bebas sebebas-bebasnya tanpa peduli perasaan orang lain?
Merasa masih medeka, ketika rakyat tidak percaya dengan siapapun pemimpinnya?
Merasa masih merdeka, ketika bibit unggul, orang Indonesia lulusan terbaik dalam pendidikan dan keterampilannya lebih dipercaya, direbut, dan lebih memilih oleh negara asing?
Saya ngutip dari buku pidato "Indonesia Menggugat" nya Ir. Soekarno, ngambilnya sepotong-sepotong sih, yang menurut saya ngena banget (buat saya sih)..
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
***
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
***
Kalau para pejuang Indonesia zaman dulu, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, AH. Nasution, dan mereka-mereka yang sangat patriotik berjuang memerdekakan Indonesia sampai ke akar-akarnya melihat kondisi negara ini saat ini, mereka pasti sedih luar biasa.
Ya, kakak gue (entah pernah ngutip dari perkataan orang lain atau nggak, gue lupa), pernah bilang, "Sejarah dibuat oleh para pemenang dan hanya untuk para pemenang." Makanya nggak jarang sejarah yang ada udah banyak yang dimanipulasi, diubah alur ceritanya, sesuai kehendak si pemenang dan orang-orang dibelakangnya.
Ini sebagai refleksi aja, refleksi enam puluh tujuh tahun, untuk saya pribadi dan untuk rakyat Indonesia dimanapun anda berada.
Kalau dulu semboyannya, "Merdeka atau Mati!" bolehkah saya tambahkan sedikit untuk semangat para pemuda dan rakyat Indonesia saat ini?
"Merdeka atau Mati Diperalat!"
"...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia" '(Q.S Ar-Ra'd)
Happy Independence Day, Indonesia! Hope be better for you!
"Merdeka atau Mati Diperalat!"
"...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia" '(Q.S Ar-Ra'd)
Happy Independence Day, Indonesia! Hope be better for you!
No comments:
Post a Comment