Hari ini, bukan hari yang luar biasa buat orang-orang. Bukan seperti hari raya, dimana semua masyarakat penjuru menunggu hari ini, mempersiapkan sebaik mungkin untuk hari tersebut, dan menikmatinya luar biasa pada saat waktunya tiba.
Bukan hari kemerdekaan, semuanya bisa menikmati liburan. Dikenang semua orang, dan mereka rela memberikan doa meskipun sesingkat-singkatnya (Setidaknya hanya mengheningkan cipta saja itu sudah sangat berarti buat negara), tidak semua penjuru se Indonesia menyanyikan lagu seperti lagu kemerdekaan yang berkumandang sahut menyahut seharian penuh.
Tapi biar begitu, hari ini berarti sangat buat saya. Berarti karena saya begitu menunggunya, berarti karena saya mengharapkan hari ini akan segera tiba, berdoa semoga segala kebahagiaan dan keberuntungan lain terus mengalir pada hidup saya dimulai dari hari ini.
Karena saya mulai dipercaya Tuhan untuk hidup dan merasakan dunia pada tanggal ini.
21 tahun bukan waktu yang singkat untuk melatih diri ini menjadi lebih dewasa dan mampu dianggap dewasa oleh orang lain. 21 tahun juga bukan waktu yang mudah untuk membentuk sikap ini menjadi lebih berakhlak mulia, segala kebaikan dipertambah dan keburukan dalam diri saya. 21 tahun bukan waktu yang sulit untuk dipahami dan 21 tahun ini bukan waktu yang lama untuk merasakan berbagai kejadian dan pengalaman silih berganti muncul dalam kehidupan dan memberikan makna tersendiri untuk diri saya.
Karena saya, memiliki orang-orang yang luar biasa di sekeliling saya.
Orang-orang yang selalu menyemangati saya dikala saya merasa terjatuh.
Orang-orang yang selalu membuat saya tersenyum, meskipun singkat, dikala hati saya kacau.
Orang-orang yang selalu mengingatkan saya ketika saya terlupa.
Orang-orang yang selalu "membangunkan" agar saya "terjaga" dari mimpi-mimpi saya.
Orang-orang yang selalu menyisipkan nama saya, dalam doa-doa kebaikannya.
Itulah mengapa saya menganggap 21 tahun bukan waktu yang sia-sia. Saya tak akan pernah menyangkalnya, tak akan menyesalinya bahwa umur saya semakin bertambah.
Karena itu bukan pilihan, itu takdirNya, dan saya, mau tak mau harus menerimanya.
21 tahun juga saya belajar banyak. Saya tak akan pernah lupa, selama itu banyak ilmu luar biasa yang bisa saya peroleh hingga waktu membentuk saya seperti ini.
Dalam tahun-tahun itu saya belajar banyak hal yang saya tak akan pernah mau menukarnya dengan perhiasan apapun.
Saya belajar merasakan ketika umur saya masih dibawagh satu tahun.
Saya belajar bagaimana saya menikmati pelukan kedua orang tua saya yang paling ternikmat dalam selama hidup saya ketika saya masih kecil.
Saya belajar merangkak, menggenggam benda apapun yang mampu saya genggam.
Saya belajar melihat apa yang bisa saya lihat.
Saya belajar dan mencoba mengucapkan sepatah kata, meskipun itu hanya ucapan kata "mama" atau "papa".
Bertambah sedikit umur ini, saya belajar berjalan. Tertatih-tatih, tapi saya mampu melewatinya hingga saya bisa berjalan bahkan hingga berlari dengan mulusnya saat ini.
Saya meminta belajar sepeda pada orang tua saya. Sulit, tapi setidaknya saya mampu menjalankannya sekarang meski tidak seprofesional atlit olahragawan sepeda.
Saya meminta diajarkan membaca, hitung-menghitung, bertanya banyak hal yang tidak saya ketahui, bahkan menuntut diri saya untuk meminta orang tua menyekolahkan saya dengan menambahkan tangisan yang menjadi-jadi.
Saya belajar mengenal orang lain. Saya belajar berteman dengan orang lain.
Tapi ketika itu pula, saat saya terhubung dengan orang lain, saya juga belajar hal-hal lain.
Saya belajar berbohong dalam bentuk apapun.
Saya belajar egois ke orang lain.
Saya belajar bahwa semua bisa terselesaikan dengan tangisan.
Meskipun saya tahu, orang tua saya amat sangat tidak mengajari saya akan hal itu dan tidak mengharapkan anaknya seperti itu.
Tapi begitulah waktu. Kembali saya belajar banyak.
Dalam waktu selama dua puluh satu tahun itu, saya bertemu teman-teman saya yang lainnya. Saya bisa merasakan rasa setia, kebersamaan, kenakalan bocah-bocah, hingga sakit hati karena pertemanan.
Saya belajar berbagai ilmu yang bahkan dulu saya tak mengerti. Dulu hanya mengerti tambah-kali-kurang-bagi, membaca sepatah-patah, tapi kini saya tahu apa itu matematika yang sesungguhnya, Bahasa Inggris, IPS, IPA, Kesenian...
Dan lambat laun saya mencoba mempelajari diri saya, apa yang saya suka dan apa yang saya tidak suka.
Tapi sekarang, saya seorang mahasiswa.
Dengan mimpi-mimpi saya.
Yang akan terus mengalir, terus saya catat dalam memori saya, terus saya coret apabila mimpi saya sudah saya dapatkan...
Dua puluh satu tahun bukan waktu yang biasa-biasa saja. Bukan waktu yang bisa aya anggap percuma.
Dua puluh satu tahun bukan gerbang ketika saya merasakan "umur saya sudah kepala dua".
Karena menjadi tua itu tuntutan hidup.
Tapi menjadi bijaksana dalam hidup itu adalah pilihan.
Dan saya memilih mencoba menjalani hidup dengan bijaksana.
Menyelesaikan kuliah, memperoleh pekerjaan yang diinginkan, membahagiakan orang tua dengan semaksimal apa yang saya punya..
Dua puluh satu tahun, ketika mimpi-mimpi yang lebih luar biasa untuk hidup saya bermula dari sini.
Dua puluh satu tahun, ketika saya masih percaya Tuhan berikan saya waktu yang "lebih" untuk terus mengeruk emas pahala sebanyak-banyaknya di dunia.
Dua puluh satu tahun, ketika saya semakin sadar, bahwa akan selalu ada orang-orang baik dan bijaksana dalam hidup saya..
***
Hari ini saya berumur 21 tahun.
Dan saya menikmatinya.. :)
***
Bukan hari kemerdekaan, semuanya bisa menikmati liburan. Dikenang semua orang, dan mereka rela memberikan doa meskipun sesingkat-singkatnya (Setidaknya hanya mengheningkan cipta saja itu sudah sangat berarti buat negara), tidak semua penjuru se Indonesia menyanyikan lagu seperti lagu kemerdekaan yang berkumandang sahut menyahut seharian penuh.
Tapi biar begitu, hari ini berarti sangat buat saya. Berarti karena saya begitu menunggunya, berarti karena saya mengharapkan hari ini akan segera tiba, berdoa semoga segala kebahagiaan dan keberuntungan lain terus mengalir pada hidup saya dimulai dari hari ini.
Karena saya mulai dipercaya Tuhan untuk hidup dan merasakan dunia pada tanggal ini.
21 tahun bukan waktu yang singkat untuk melatih diri ini menjadi lebih dewasa dan mampu dianggap dewasa oleh orang lain. 21 tahun juga bukan waktu yang mudah untuk membentuk sikap ini menjadi lebih berakhlak mulia, segala kebaikan dipertambah dan keburukan dalam diri saya. 21 tahun bukan waktu yang sulit untuk dipahami dan 21 tahun ini bukan waktu yang lama untuk merasakan berbagai kejadian dan pengalaman silih berganti muncul dalam kehidupan dan memberikan makna tersendiri untuk diri saya.
Karena saya, memiliki orang-orang yang luar biasa di sekeliling saya.
Orang-orang yang selalu menyemangati saya dikala saya merasa terjatuh.
Orang-orang yang selalu membuat saya tersenyum, meskipun singkat, dikala hati saya kacau.
Orang-orang yang selalu mengingatkan saya ketika saya terlupa.
Orang-orang yang selalu "membangunkan" agar saya "terjaga" dari mimpi-mimpi saya.
Orang-orang yang selalu menyisipkan nama saya, dalam doa-doa kebaikannya.
Itulah mengapa saya menganggap 21 tahun bukan waktu yang sia-sia. Saya tak akan pernah menyangkalnya, tak akan menyesalinya bahwa umur saya semakin bertambah.
Karena itu bukan pilihan, itu takdirNya, dan saya, mau tak mau harus menerimanya.
21 tahun juga saya belajar banyak. Saya tak akan pernah lupa, selama itu banyak ilmu luar biasa yang bisa saya peroleh hingga waktu membentuk saya seperti ini.
Dalam tahun-tahun itu saya belajar banyak hal yang saya tak akan pernah mau menukarnya dengan perhiasan apapun.
Saya belajar merasakan ketika umur saya masih dibawagh satu tahun.
Saya belajar bagaimana saya menikmati pelukan kedua orang tua saya yang paling ternikmat dalam selama hidup saya ketika saya masih kecil.
Saya belajar merangkak, menggenggam benda apapun yang mampu saya genggam.
Saya belajar melihat apa yang bisa saya lihat.
Saya belajar dan mencoba mengucapkan sepatah kata, meskipun itu hanya ucapan kata "mama" atau "papa".
Bertambah sedikit umur ini, saya belajar berjalan. Tertatih-tatih, tapi saya mampu melewatinya hingga saya bisa berjalan bahkan hingga berlari dengan mulusnya saat ini.
Saya meminta belajar sepeda pada orang tua saya. Sulit, tapi setidaknya saya mampu menjalankannya sekarang meski tidak seprofesional atlit olahragawan sepeda.
Saya meminta diajarkan membaca, hitung-menghitung, bertanya banyak hal yang tidak saya ketahui, bahkan menuntut diri saya untuk meminta orang tua menyekolahkan saya dengan menambahkan tangisan yang menjadi-jadi.
Saya belajar mengenal orang lain. Saya belajar berteman dengan orang lain.
Tapi ketika itu pula, saat saya terhubung dengan orang lain, saya juga belajar hal-hal lain.
Saya belajar berbohong dalam bentuk apapun.
Saya belajar egois ke orang lain.
Saya belajar bahwa semua bisa terselesaikan dengan tangisan.
Meskipun saya tahu, orang tua saya amat sangat tidak mengajari saya akan hal itu dan tidak mengharapkan anaknya seperti itu.
Tapi begitulah waktu. Kembali saya belajar banyak.
Dalam waktu selama dua puluh satu tahun itu, saya bertemu teman-teman saya yang lainnya. Saya bisa merasakan rasa setia, kebersamaan, kenakalan bocah-bocah, hingga sakit hati karena pertemanan.
Saya belajar berbagai ilmu yang bahkan dulu saya tak mengerti. Dulu hanya mengerti tambah-kali-kurang-bagi, membaca sepatah-patah, tapi kini saya tahu apa itu matematika yang sesungguhnya, Bahasa Inggris, IPS, IPA, Kesenian...
Dan lambat laun saya mencoba mempelajari diri saya, apa yang saya suka dan apa yang saya tidak suka.
Saya suka musik.
Saya suka membaca.
Saya suka membuat kerajinan tangan.
Atau bahkan saya suka jalan-jalan bersama sahabat-sahabat saya.
Tapi saat itu juga saya mulai belajar menetang.
Menentang terhadap apapun yang tidak saya sukai, masa bodoh dengan pikiran orang lain.
Saya belajar mengatakan "tidak mau".
Saya belajar mengatakan "saya tidak suka".
Tanpa disadari ternyata sikap itu berkorelasi dengan munculnya sikap menuntut dalam diri saya.
Semakin bertambahnya usia, saya mencoba belajar dari hal-hal kecil dan mencoba mengubahnya.
Saya mencoba memahami makna kehati-hatian.
Mana orang yang saya pandang baik, mana orang yang saya pandang jahat.
Mencoba menjadi anak yang mau membahagiakan orang tuanya dengan prestasi-prestasi kebaikan apapun bentuknya.
Mengurangi kenakalan.
Dan mengetahui apa namanya cinta.
Meski belum seserius kenyataannya.
Ketika saya dinyatakan remaja, saya mulai memhami bahwa dosa-dosa saya tidak lagi ditanggung orang tua saya. Saya mencoba melatih diri saya shalat memenuhi 5 waktu meski masih sangat terundur sekali waktunya.
Mencoba melatih baca Al-Qur'an meski terbata-bata.
Tapi kenakalan remaja tetap tidak bisa dihindari. Itu alamiah muncul dalam tiap remaja, siapapun itu.
Teman-teman saya mengajarkan saya bolos sekolah.
Mengajarkan saya menggunakan uang sekolah untuk jajan.
Mengajarkan saya untuk hal-hal yang tidak baik.
Tapi ego saya masih mengingat, pada orang-orang baik disekeliling saya. Pastinya mereka tak akan pernah mengharapkan saya menjadi "anak nakal" yang mereka miliki dan mereka temui.
Satu hal baru lagi, saya belajar memiliki "impian".
Seiring berjalannya waktu, banyak pengorbanan pula yang saya harus lakukan untuk segala mimpi-mimpi saya.
Saya harus belajar semaksimal mungkin supaya lulus UN.
Saya suka membaca.
Saya suka membuat kerajinan tangan.
Atau bahkan saya suka jalan-jalan bersama sahabat-sahabat saya.
Tapi saat itu juga saya mulai belajar menetang.
Menentang terhadap apapun yang tidak saya sukai, masa bodoh dengan pikiran orang lain.
Saya belajar mengatakan "tidak mau".
Saya belajar mengatakan "saya tidak suka".
Tanpa disadari ternyata sikap itu berkorelasi dengan munculnya sikap menuntut dalam diri saya.
Semakin bertambahnya usia, saya mencoba belajar dari hal-hal kecil dan mencoba mengubahnya.
Saya mencoba memahami makna kehati-hatian.
Mana orang yang saya pandang baik, mana orang yang saya pandang jahat.
Mencoba menjadi anak yang mau membahagiakan orang tuanya dengan prestasi-prestasi kebaikan apapun bentuknya.
Mengurangi kenakalan.
Dan mengetahui apa namanya cinta.
Meski belum seserius kenyataannya.
Ketika saya dinyatakan remaja, saya mulai memhami bahwa dosa-dosa saya tidak lagi ditanggung orang tua saya. Saya mencoba melatih diri saya shalat memenuhi 5 waktu meski masih sangat terundur sekali waktunya.
Mencoba melatih baca Al-Qur'an meski terbata-bata.
Tapi kenakalan remaja tetap tidak bisa dihindari. Itu alamiah muncul dalam tiap remaja, siapapun itu.
Teman-teman saya mengajarkan saya bolos sekolah.
Mengajarkan saya menggunakan uang sekolah untuk jajan.
Mengajarkan saya untuk hal-hal yang tidak baik.
Tapi ego saya masih mengingat, pada orang-orang baik disekeliling saya. Pastinya mereka tak akan pernah mengharapkan saya menjadi "anak nakal" yang mereka miliki dan mereka temui.
Satu hal baru lagi, saya belajar memiliki "impian".
Seiring berjalannya waktu, banyak pengorbanan pula yang saya harus lakukan untuk segala mimpi-mimpi saya.
Saya harus belajar semaksimal mungkin supaya lulus UN.
Saya harus belajar semaksimal mungkin supaya bisa diterima universitas.
Setidaknya saya yakin, biarlah saya bersusah payah karena kebahagiaan nantinya juga bukan hanya untuk saya. Tapi untuk orang-orang baik disekeliling saya, terkhususkan orang tua saya.
Lagi-lagi orang tua.
Terus..terus..dan terus..
Dua puluh satu tahun bukan waktu yang singkat apabila saya kembali menceritakan nya pada kalian. Meskipun sangat singkat untuk saya rasakan.
Seperti saat ini, rasanya kemarin saya masih digendong ibu saya kemana-mana, baru bisa belajar berjalan, baru masuk sekolah SD, SM, SMA...
Setidaknya saya yakin, biarlah saya bersusah payah karena kebahagiaan nantinya juga bukan hanya untuk saya. Tapi untuk orang-orang baik disekeliling saya, terkhususkan orang tua saya.
Lagi-lagi orang tua.
Terus..terus..dan terus..
Dua puluh satu tahun bukan waktu yang singkat apabila saya kembali menceritakan nya pada kalian. Meskipun sangat singkat untuk saya rasakan.
Seperti saat ini, rasanya kemarin saya masih digendong ibu saya kemana-mana, baru bisa belajar berjalan, baru masuk sekolah SD, SM, SMA...
Tapi sekarang, saya seorang mahasiswa.
Dengan mimpi-mimpi saya.
Yang akan terus mengalir, terus saya catat dalam memori saya, terus saya coret apabila mimpi saya sudah saya dapatkan...
Dua puluh satu tahun bukan waktu yang biasa-biasa saja. Bukan waktu yang bisa aya anggap percuma.
Dua puluh satu tahun bukan gerbang ketika saya merasakan "umur saya sudah kepala dua".
Karena menjadi tua itu tuntutan hidup.
Tapi menjadi bijaksana dalam hidup itu adalah pilihan.
Dan saya memilih mencoba menjalani hidup dengan bijaksana.
Menyelesaikan kuliah, memperoleh pekerjaan yang diinginkan, membahagiakan orang tua dengan semaksimal apa yang saya punya..
Dua puluh satu tahun, ketika mimpi-mimpi yang lebih luar biasa untuk hidup saya bermula dari sini.
Dua puluh satu tahun, ketika saya masih percaya Tuhan berikan saya waktu yang "lebih" untuk terus mengeruk emas pahala sebanyak-banyaknya di dunia.
Dua puluh satu tahun, ketika saya semakin sadar, bahwa akan selalu ada orang-orang baik dan bijaksana dalam hidup saya..
***
Hari ini saya berumur 21 tahun.
Dan saya menikmatinya.. :)
***
No comments:
Post a Comment